Kenakalan Remaja Meresahkan Semua Pihak

           Juvenile delinquency (kenakalan remaja) ialah perilaku jahat/dursila, atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda merupakan patologis. Secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka itu mengembangkan bentuk tingkah laku yang menyimpang.

Remaja yang kebanyakan orang mengartikan bahwa masa peralihan antara masa kanak-kanak menjadi dewasa. Dalam masa ini anak-anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan secara fisik dan psikis. Mereka bukanlah anak-anak baik secara fisik, cara berpikir, ataupun cara bertindak. Tetapi bukan pula dikatakan orang dewasa yang telah  matang secara fisik maupun psikisnya.

Kenakalan remaja sudah menjadi masalah di semua negara. Setiap tahun tingkat kenakalan remaja ini menunjukan peningkatan, sehingga mengakibatkan terjadinya problema sosial. Lingkungan sangat berpengaruh besar dalam pembentukan jiwa remaja. Bagi remaja yang ternyata salah memilih tempat atau kawan dalam bergaulnya. Maka yang akan terjadi kemudian adalah berdampak negatif terhadap perkembangan pribadinya. Tapi, bila dia memasuki lingkungan pergaulan yang sehat, seperti memasuki organisasi pemuda yang resmi diakui oleh pemerintah, sudah tentu berdampak positif bagi perkembangan kepribadiannya.

Akhir-akhir ini fenomena kenakalan remaja makin meluas. Bahkan hal ini sudah terjadi sejak dulu. Para pakar baik pakar hukum, psikolog, pakar agama dan lain sebagainya selalu mengupas masalah yang tak pernah habis-habisnya ini. Kenakalan Remaja, seperti sebuah lingkaran hitam yang tak pernah putus, sambung menyambung dari waktu ke waktu, dari masa ke masa, dari tahun ke tahun dan bahkan dari hari ke hari semakin rumit. Masalah kenalan remaja merupakan masalah yang kompleks terjadi di berbagai kota di Indonesia. Sejalan dengan arus globalisasi dan teknologi yang semakin berkembang, arus informasi yang semakin mudah diakses serta gaya hidup modernisasi, disamping memudahkan dalam mengetahui berbagai informasi di berbagai media, di sisi lain juga membawa suatu dampak negatif yang cukup meluas di berbagai lapisan masyarakat.



          Kenakalan remaja biasanya dilakukan oleh remaja-remaja yang gagal dalam menjalani proses-proses perkembangan jiwanya, baik pada saat remaja maupun pada masa kanak-kanaknya. Masa kanak-kanak dan masa remaja berlangsung begitu singkat, dengan perkembangan fisik, psikis, dan emosi yang begitu cepat. Secara psikologis, kenakalan remaja merupakan wujud dari konflik-konflik yang tidak terselesaikan dengan baik pada masa kanak-kanak maupun remaja para pelakunya. Seringkali didapati bahwa ada trauma dalam masa lalunya, perlakuan kasar dan tidak menyenangkan dari lingkungannya, maupun trauma terhadap kondisi lingkungannya, seperti kondisi ekonomi yang membuatnya merasa rendah diri. Namun pada kenyataanya orang cenderung langsung menyalahkan, menghakimi, bahkan menghukum pelaku kenakalan remaja tanpa mencari penyebab, latar belakang dari perilakunya tersebut.

          Mengatasi kenakalan remaja, berarti menata kembali emosi remaja yang tercabik-cabik itu. Emosi dan perasaan mereka rusak karena merasa ditolak oleh keluarga, orang tua, teman-teman, maupun lingkungannya sejak kecil, dan gagalnya proses perkembangan jiwa remaja tersebut. Trauma-trauma dalam hidupnya harus diselesaikan, konflik-konflik psikologis yang menggantung harus diselesaikan, dan mereka harus diberi lingkungan yang berbeda dari lingkungan sebelumnya.



Contoh kasus yang ada di Jakarta:

Keselamatan warga Jakarta masih terancam. Pasalnya, pelajar yang tawuran sudah berani menggunakan bahan kimia. Perilaku ini bukan fenomena biasa dan menjadi cermin kualitas kenakalan remaja yang semakin meningkat.

”Ini sudah persoalan kriminal yang dilakukan pelajar. Tingkat kenakalannya sudah di luar batas pelajar. Mulai dari cara melakukan sampai melarikan diri setelah menyiramkan air keras, perbuatan itu seperti pelaku kriminal jalanan,” kata Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Taufik Yudi Mulyanto, Senin (7/10), di Jakarta.

Taufik menyarankan agar RN, pelaku penyiraman bahan kimia pada pekan lalu, dikembalikan kepada orangtuanya sampai ada perubahan perilaku ke arah yang positif. Pertimbangannya, perbuatan RN sudah dilakukan berkali-kali. Hal ini diperlukan agar kenakalan RN tidak ditiru siswa lain.

Taufik yakin, kenakalan RN lebih banyak disebabkan faktor di luar sekolah. Sebab, pihak sekolah tidak pernah mengajarkan kekerasan kepada siswanya. Dalam empat tahun terakhir, Pemprov DKI Jakarta mengembalikan pelaksanaan masa orientasi kepada pihak sekolah, bukan kepada siswa senior.

”Tujuannya, kami ingin mengurangi tradisi kekerasan yang dikembangkan seniornya,” kata Taufik.

Terkait kasus penggunaan air keras pada tawuran pelajar, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo akan memanggil Kepala Dinas Pendidikan, orangtua murid, dan pihak sekolah.

Jokowi belum mendapatkan informasi yang utuh mengenai persoalan itu. Namun, Jokowi akan memberi santunan kepada semua korban tawuran tersebut.

Beta Virgin Silalahi (35), salah satu korban penyiraman bahan kimia yang masih menjalani rawat inap di Rumah Sakit Premier Jatinegara, mengatakan, dirinya tidak akan menuntut ganti rugi biaya pengobatan.

Namun, Beta mengharapkan pelaku dihukum seberat mungkin agar memberikan efek jera bagi pelajar yang sering tawuran. ”Pelaku harus dihukum minimal di atas 10 tahun penjara supaya tidak ada yang mau melakukan hal itu lagi,” ujarnya.
Penggunaan soda api juga terjadi dalam tawuran di Jalan Intan, Johar Baru, 15 September. Seorang polisi bernama Brigadir Sugito Aritonang (26) menjadi korban siraman soda api. Polisi sudah menahan belasan tersangka, termasuk FJ (16) yang diduga melemparkan soda api dan mengenai Sugito.

Dosen Sosiologi Universitas Indonesia, Daisy Indira Yasmine, mengatakan, penggunaan soda api atau air keras dalam tawuran bisa meluas apabila sanksi hukum atas pelaku tidak diterapkan. Selain itu, media massa juga berperan mendorong orang menduplikasi tindakan ini jika pemberitaan tidak dilanjutkan sampai tahap penindakan pelaku.

Ide penggunaan berbagai senjata untuk melukai orang lain, menurut Daisy, selalu ada. Namun, selama norma yang ada ketat, orang tidak berani melakukannya. Kalau norma longgar, orang akan melakukannya. ”Sebagian pelaku mempelajari cara dari pemberitaan di media massa. Karena itu, kalau sanksi terhadap pelaku tidak diberitakan, anak muda hanya menangkap serunya tindakan itu dan menirunya,” kata Daisy.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Aplikasi PhotoMath

Implementasi Terhadap Grafik Komputer dan Pengolahan Citra

Perbedaan Business Relationship Management (BRM) dan Service Level Management (SLM)